Cerita saya selama 1 bulan di Jakarta sebagai pendatang dan pekerja, juga Jakarta dan informalitasnya.
Jakarta.
Beberapa waktu yang lalu, Jakarta dengan SCBD-nya sempat viral di Twitter. “Jakarta rasa Seoul” tertulis di keterangan video tersebut. Sebagai salah satu K-pop dan K-Drama fans, Seoul adalah “dream destination”. I can’t help but dreaming to visit or maybe living there, someday.
Kemarin malam, saya bersama seorang teman berkeliling Jakarta menggunakan sepeda motor. Dia adalah warlok (Warga Lokal) Jakarta, yang menawarkan diri menjadi tour guide dadakan untuk pendatang seperti saya. Kemudian, teman saya membawa saya ke kawasan viral tersebut -SCBD, dengan ciri khas-nya yang terlihat ‘eksklusif’. Sebagai seorang pendatang dan hanya punya pengalaman tinggal paling lama di Jakarta 2 bulan selama magang dan 1 bulan ini, yang keluar dari mulut saya saat itu hanya “Wow”.
Saya tinggal disini sekarang, di Jakarta.
Tidak dipungkiri salah satu ketakutan terbesar saya saat memutuskan pindah ke Jakarta untuk menetap dan bekerja adalah biaya hidup dan lingkungannya. Saya takut tidak bisa beradaptasi dan tidak survive. Karena katanya “Jakarta keras” bukan?
Kami kemudian meneruskan perjalanan melewati Kemang, Blok M, Bundaran HI, Menteng dan lainnya -saya tidak ingat persisnya. Tapi, nyatanya ada satu hal yang menarik perhatian selama perjalanan. Satu hal pula yang selama sebulan ini ternyata tanpa saya sadari selalu saya temui.
Dimanapun jalan yang kami lalui, seberapa ‘fancy’ dan ‘eksklusif’ tempat yang kami lewati ada satu hal yang tidak pernah hilang keberadaannya: Sektor informal.
Dari tempat-tempat untuk “menghabiskan uang” -kalau kata teman saya di Jakarta, ada pilihan menarik yang tentunya menjadi opsi paling baik dan paling bijaksana untuk pendatang seperti saya yaitu sektor informal.
Ide dari sektor informal dan pedagang kaki lima yang dulu saya maknai adalah pedagang pinggir jalan, pedagang yang tidak menetap, dan pedagang kecil. Baik dulu hingga saat ini menurut saya pengertian sektor informal dan pedagang kaki lima sendiri masih sulit di definisikan dengan benar dan sesuai dengan karakteristik dan cara bertahannya yang unik. Pun keberadaannya di ruang-ruang publik perkotaan sering (dan masih) dilihat dan dipandang seperti itu -tidak benar, tidak sesuai. Namun, menjadi pendatang dan bekerja di kota sebesar Jakarta, membuat saya memandang pedagang kaki lima sebagai ‘penyelamat’.
Seminggu pertama saya berada di Jakarta yang saya lakukan adalah mengamati berapa banyak warteg, gerobak nasi goreng, warung tenda ayam/ pecel lele dan ketoprak yang ada disekitar kosan tempat tinggal saya juga di sepanjang jalan dari kos ke kantor tempat saya bekerja. Menariknya, saya secara tidak sadar (atau sangat sadar) akan menempatkan opsi tersebut sebagai pilihan pertama untuk memutuskan akan lanjut tinggal di tempat yang sama bulan depan dan seterusnya atau tidak. Dekat dengan sumber kebutuhan dasar -makanan, yang terjangkau, selalu tersedia, dan dapat di akses dari mana saja merupakan pilihan bijaksana bagi pendatang dan pekerja baru seperti saya. Apalagi di masa penyesuaian biaya hidup sehari-hari dan perhitungan-perhitungan kebutuhan hidup lain.
Sehari-hari saya bergantung dengan pedagang kaki lima di sekitar kosan dan tempat bekerja. Dalam sehari, saya akan menghabiskan tidak lebih dari 30 ribu rupiah untuk 2 kali makan dan cemilan/ jajanan. Dibandingkan makan di outlet makanan yang ada di sekitar tempat tinggal saya -di Tebet Jakarta Selatan, tentu harga itu sangat terjangkau dan tidak bisa dibandingkan. Sektor informal merupakan suatu alternatif atau pilihan. Namun untuk saya, keberadaannya bukan sekedar pilihan tapi juga membantu, menyelamatkan, dan menjadi opsi paling baik yang dapat diambil.
Sebagai pendatang dan baru di Jakarta, saya mengerti betapa penting kehadiran sektor informal dalam keseharian warganya. Ternyata, sektor informal menjadi penyelamat dalam periode ‘adaptasi’ saya dengan lingkungan dan kebutuhan biaya hidup di Jakarta. Keberadaan mereka membantu keseharian banyak warga Jakarta -saya salah satunya.
Sama dengan mereka yang membutuhkan warga Jakarta sebagai konsumen, saya -sebagai warga Jakarta juga membutuhkan mereka. Tukang gorengan di stasiun kereta, penjual mie ayam di gang dekat kosan saya, warteg 24 jam penyelamat jam makan saya yang tidak teratur dan sektor informal lainnya.
Comentários